Kamis, 08 Januari 2009

Induktivisme, Problem Induksi dan Ketergantungan Observasi Pada Teori

PENDAHULUAN
Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia tercatat bahwa untuk mendapatkan kebenaran, baik kebenaran yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, manusia senantiasa mempergunakan seluruh keberadaannya secara utuh dan menyeluruh. Dengan cara seperti itu telah memungkinkan dihasilkannya berbagai macam metode sebagai suatu sarana atau instrumen bagi manusia dalam mendapatkan kebenaran yang objektif.
Secara epistemologis, kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya menjadi objek pengetahuan yang dapat diperoleh dengan menggunakan dua jenis metode penalaran, yaitu secara deduktif maupun induktif. Penalaran deduktif adalah suatu prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum.
Namun demikian apabila dengan cermat kita memperhatikan dan memahami kedua jenis metode penalaran ini, deduktif dan induktif, keduanya tidak terlepas dari berbagai kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik penalaran deduktif maupun induktif mengandung titik-titik lemah yang dapat kita anggap sebagai keterbatasan dari keduanya.
B. Masalah
Induktivisme dan empirisme sebagai aliran yang menggunakan landasan berpikir induktif adalah yang ingin dikaji karena kedudukannya yang sangat penting dalam metode ilmiah. Dalam studi-studi ilmiah yang dilakukan dengan teknik eksperimentasi, penggunaan metode induksi sangatlah menonjol dan memberi pengaruh yang kuat. Hasil penarikan kesimpulan sebagai salah satu bentuk kebenaran yang diperoleh dengan kajian ilmiah, sangat besar ditentukan oleh pemikiran empiris. Tidak jarang penarikan kesimpulan yang diambil dari suatu penelitian ilmiah mempunyai nilai kebenaran yang rendah, oleh karena hanya kesalahan dalam penggunaan metode induksi/empirisnya. Sebab itu kritik atau telaah terhadap kelemahan dalam metode induksi dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan bagi para ilmuwan dalam menggunakan metode ilmiah.
Atas dasar itulah makalah ini mencoba mengungkapkan dan menganalisis fakta-fakta apa saja dalam induktivisme yang menjadi titik lemah atau keterbatasan metode tersebut dan mengapa hal-hal itu dapat terjadi. Selain itu, makalah ini memberikan beberapa solusi alternatif guna mencoba menjawab persoalan tersebut, sehingga paling tidak keterbatasan induktivisme dapat diminimalisasi.
Dari permasalahan yang telah diajukan, hipotesis yang dirumuskan adalah bahwa keterbatasan induktivisme dan empirisme dalam metode ilmiah dapat dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya penarikan kesimpulan ilmiah yang salah secara signifikan. Hipotesis lain yang bisa juga dikemukakan adalah bahwa keterbatasan empirisme dan induktivisme sesungguhnya merupakan suatu peluang untuk menimbulkan keraguan terhadap kesimpulan ilmiah sehingga memungkinkan dikembangkannya lagi suatu pengkajian ulang terhadap kebenaran ilmiah tersebut.
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan tinjauan historis
Induktivisme bagian dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan empiris. Induktivisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah diatasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Demikian pula cara kita mengenal hukum-hukum alam pada kegiatan sehari-hari, yaitu dengan cara induksi. Contohnya, sejak kecil kita memperhatikan bahwa matahari terbit di timur. Hari berikutnya, masih demikian. Hari berikutnya, masih juga demikian. Sampai hari ini, matahari masih juga terbit di timur. Kenyataan seperti itu merupakan fakta khusus. Berdasarkan pengalaman ini, maka kita menyimpulkan bahwa “setiap hari matahari terbit ditimur”. Perhatikan cara pengambilan kesimpulan ini. Fakta-fakta khusus melahirkan sebuah kesimpulan umum. Ini adalah penarikan kesimpulan secara induktif. Apakah dapat dipastikan bahwa esok matahari juga terbit di timur? Tidak. Kita hanya dapat menganggap bahwa sangat besar kemungkinannya esok hari matahari terbit lagi di timur. Hal ini sesuai dengan sifat induksi yang spekulatif.
Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan. Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran a posteriori.
Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui pengalaman-pengalaman inderawi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan pikiran manusia.
Selain John Locke, Francis Bacon pada awal abad ke-17, beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Berkebalikan dengan penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki konsep yang canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteksi ini, teori bukanlah syarat mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi.
Dalam induksi, tidak ada kesimpulan yang memiliki nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanyalah kesimpulan dengan probabilitas benar atau peluang kebenaran (Surajiyo, 2007). Menurut Chalmer (1983), kondisi yang harus dipenuhi agar generalisasi atau kesimpulan dianggap benar dan sah oleh induktivis disebutkan sebagai berikut : makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar induksi, makin besar variasi kondisi dimana observasi dilakukan, dan keterangan observasi yang sudah diterima tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi simpulannya. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmers, 1983). Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran pada teori.
B. Keterbatasan induktivisme dan problem induksi
Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan. Misalnya saja bagaimana tongkat lurus yang terendam di dalam air akan kelihatan bengkok.
Ketiga, di dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam induktivisme dan empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun premisnya benar. Misalnya, setelah dilakukan observasi terhadap sejumlah besar gagak pada variasi kondisi yang luas, ternyata didapat fakta gagak berwarna hitam. Maka dapat disimpulkan semua gagak adalah hitam. Ini adalah penyimpulan induktif yang valid dan sempurna. Namun disini tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah.
Penalaran induktif yang digunakan pada empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa pun banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar dibuktikan atau salah. Misalkan seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali pemiliknya mendekat selalu tahu bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan mengenyangkan dirinya. Dengan demikian ayam (secara instingtif atau behavioristis) memiliki pengetahuan atas suguhan makanan yang akan dimakan lewat kasus pembiasaan yang diulang ulang. Ayam sampai pada kesimpulan bahwa majikan datang sama dengan makanan datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan sang ayampun mendekat. Bukan makanan yang di dapat oleh sang ayam tapi tebasan pisau yang meneteskan darah dilehernya. Majikan datang sama dengan maut. Dengan demikian kesimpulan umum bahwa majikan datang sama dengan makanan menjadi sebuah pengetahuan yang salah dan menjerumuskan sang ayam itu sendiri.
Tidak beda dengan hal ini adalah kepercayaan kita atas terbitnya matahari dari timur. Karena setiap hari matahari selalu saja terbit dari timur (walaupun mengalami pergeseran sedikit kearah utara atau selatan), hal ini tidaklah menjadikan kesimpulan bahwa matahari selalu terbit dari timur merupakan sebuah kebenaran mutlak. Tidak menutup kemungkinan suatu saat matahari bisa terbit dari barat, utara atau selatan. Dari sini tampak bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan tetapi pengetahuan yang probabel/berpeluang benar.
Disini terdapat satu bukti rasional bahwa penalaran induktif bisa jadi menghasilkan kesimpulan yang berbahaya dan salah kaprah. Pengetahuan kita yang bersumber dari penalaran atau pemikiran induktif bisa jadi salah. Bukan makanan yang datang melainkan kematian. Demikianlah seperti contoh sang ayam.
Menurut pandangan Hume, penalaran induksi sering pula dikaitkan dengan sebuah korelasi atau hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dua buah kejadian yang berbeda. Hasil-hasil kesimpulan secara induksi juga dikaitkan dengan kausalitas sebuah kejadian. Karena sedemikian sering kejadian A diikuti oleh kejadian B, maka diambil kesimpulan bahwa kejadian A merupakan penyebab kejadian B. Hutan yang gundul menyebabkan banjir. Pengeboran lumpur Lapindo menyebabkan luapan lumpur. Dan sebagainya. Sekarang simak contoh berikut. Dua buah jam dihadapkan di depan anda. Salah satu jam tersebut pada setiap perputaran satu jam akan berdering, tetapi jam satunya lagi tidak. Nah ketika jam A yang tidak berdering itu menunjukkan jam 12 maka sedetik kemudian diikuti oleh dering jam B. Demikian sampai berpuluh-puluh maupun berjuta-juta kali. Apakah bisa diambil kesimpulan bahwa jam A mengakibatkan jam B berdering?
Meskipun metode penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan yang salah, namun setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga kita tidak dapat mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karena untuk melakukan perkiraan atau asumsi dengan induksi adalah valid. Memang benar kita tidak dapat memastikan bahwa suatu teori/hipotesa melaui induksi itu benar, namun kita dapat memastikan bahwa teori/hipotesa itu belum salah. Inilah landasan berpikir saintifik. Selama masih belum ditemukan keaslahan teori/hipotesa itu, maka teori/hipotesa itu akan selalu dianggap benar. Dengan demikian induksi memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.
C. Ketergantungan Observasi pada Teori
Ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme naif tentang observasi. Yang pertama bahwa ilmu bertolak dari observasi. Yang kedua, bahwa observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik. Pengamatan ilmiah harus memiliki organ indera dan instrumen yang benar dan baik. Dua hal yang ditekankan pada observasi melalui penglihatan menurut induktivis, yaitu pengamat dapat menangkap langsung sifat dari duia luar selama sifat itu terekam oleh otaknya dari tindakan melihat. Yang kedua, dua pengamat normal memandang objek yang sama dari tempat yang sama akan melihat hal yang sama pula.
Namun ternyata, kenyataannya tidak demikian. Pengalaman dua pengamat ketika memandang satu objek yang sama dari tempat yang sama dalam keadaan fisik yang sama tidak harus mendapatkan pengalaman visual yang sama, walau hakikat gambar yang diterima retina mata sama. Seperti contoh pada gambar berikut ini:
Gambar 1
Jika diamati, gambar tersebut bisa dilihat sebagai pria yang sedang meniup terompet atau wajah seorang wanita. Gambar-gambar yang terbentuk secara relatif tergantung pada budaya si pengamat dan pengalaman persepsi dalam melihat tidak hanya ditentukan oleh gambar pada retina, tetapi juga pengalaman masa lalu, harapan dan pengetahuan si pengamat. Inilah yang menjadi kritik bagi para induktivis.
Contoh praktek dalam ilmu mengilustrasikan hal yang sama yaitu apa yang terlihat adalah pengalaman subyektif, tidak ditentukan oleh retina saja, tetapi juga pada pengalaman, pengetahuan dan harapan secara psikologi dari pengamat. Seperti pada membaca gambar hasil sinar X yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dari pendidikan dan latihan dibidangnya.
Untuk memantapkan validitas suatu keterangan observasi memerlukan pertolongan teori. Makin mantap validitasnya, makin ekstensif pengetahuan teori yang digunakan. Hal ini jelas berlawanan dengan apa yang kita harapkan dari induktivis, yakni untuk mengukuhkan keterangan observasi, perlu keterangan observasi yang terjamin dan mungkin hukum-hukum dapat ditarik secara induksi dari situ, bukan pada teori. Demikian juga saat melakukan suatu eksperimen, kadang kita memerlukan atau dipancing teori yang didapat dari penelitian. Ketergantungan observasi pada teori yang telah dibicarakan ini, menyudutkan para induktivis naif. Namun para induktivis modern mulai mau memodifikasi pandangannya. Jangkauan observasi empiris manusia yang terbatas sifatnya, membuat observasi perlu diperkuat, dilengkapi dan ditunjang dengan penggunaan sarana yang baik, pengandaian teoritis dan kemampuan merumuskan hasil observasi secara logis rasional. Oleh karena itu, kedua metode penalaran deduktif dan induktif, yang seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah, tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika
PENUTUP
Telaah terhadap kritik yang ditujukan kepada empirisme dan induktivisme tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang peranan induksi dalam pembentukan pengetahuan melalui metode ilmiah. Kritik ini haruslah dipandang sebagai acuan dalam mencari solusi alternatif mengatasi kelemahan-kelemahan dalam induksi. Penggunaan pancaindera yang memiliki keterbatasan harus dibantu dengan teknologi yang sempurna untuk menyempurnakan pengamatan. Metode-metode eksperimen yang dijalankan harus ditetapkan secara benar sehingga bias karena keterbatasan pengamatan manusia dapat diminimalisasikan.
Pengalaman-pengalaman yang dibangun sebagai dasar kebenaran juga harus didukung dengan teori-teori yang relevan. Bergantung pada pengalaman pribadi saja bisa menimbulkan subyektivitas yang tinggi. Oleh sebab itu kajian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada sebelumnya harus dilakukan sehingga kebenaran yang ingin didapatkan memiliki sifat obyektivitas yang tinggi. Pengetahuan tidak semata-mata mulai dari pengalaman saja, tetapi ia harus menjelaskan dirinya dengan pengalaman-pengalaman itu.
Dari sudut pandang yang lain, kritik terhadap induksi perlu juga dipahami sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan. Dengan adanya keterbatasan dalam induksi sebagai salah satu prosedur dari metode ilmiah, memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya kebenaran yang ada. Tetapi sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa di luar ilmu pengetahuan masih terdapat kebenaran lain. Dengan demikian, kebenaran ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri, tetapi didalam membangun keharmonisan dan keseimbangan hidup, kebenaran ilmu pengetahuan perlu berdampingan dengan kebenaran-kebenaran dari pengetahuan lain, seperti seni, etika dan agama. Pengetahuan-pengetahuan lain di luar ilmu pengetahuan ilmiah perlu dipahami pula dengan baik oleh para ilmuwan agar dapat menciptakan atau menghasilkan nuansa yang lebih dinamis pada pengetahuan ilmiah. Kebenaran ilmu juga memiliki sifat probabel, tentatif, evolutif, relatif dan tidak pernah sempurna, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.

2 komentar:

  1. Bu hanny ... saya ikut copy ya ... kebetulan saya dapet tgs yang sama di almamater kita tercinta. trimakasih ^^

    BalasHapus
  2. Terimaksih bu Hanny, saya numpang mengutip sabagian makalah ibu uni ya........... xie2. Vekky.

    BalasHapus