Kamis, 08 Januari 2009

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Bab I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, rakyat Indonesia dengan suara lantang menuntut adanya perubahan. Dari sinilah muncul berbagai ide untuk lebih memaksimalkan pembangunan bangsa yang adil dan merata. Daerah-daerah mulai berani menuntut haknya, yakni otonomi daerah. Mereka melihat bahwa sistem sentralistik yang yang selama ini dijalankan tidak berhasil membawa Indonesia kearah yang lebih baik. Pembangunan lebih banyak di pusat atau daerah tertentu sedangkan daerah penghasil devisa besar justru terbelakang.
Akhirnya UU otonomi daerah oleh pemerintah dan DPR disepakati untuk disahkan maka pada tahun 1999 yaitu UU No 22 dan 25 tahun 1999. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka wewenang untuk mengurus daerah sendiri mulai dirancang oleh masing-masing daerah.
Seiring dengan implementasi otonomi daerah, sektor pendidikan yang merupakan salah satu sektor pelayanan dasar, juga mengalami perubahan mendasar baik dari segi birokrasi kewenangan penyelenggaran pendidikan maupun dari aspek pendanaannya. Ketika UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 diberlakukan dan disusul dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional tentang sistem manajemen berbasis sekolah dan pemberian kewenangan terhadap daerah (bahkan sekolah) dalam mengelola pendidikan, timbul secercah harapan akan semakin membaiknya pembangunan pendidikan. Model pembangunan pendidikan yang sangat bersifat sentralistik dan monolitik serta menafikan perbedaan, secara drastis mestinya berubah menjadi desentralistik dan pluralistik sehingga kepentingan dan kebutuhan serta potensi dan kemampuan daerah menjadi lebih terperhatikan dan terbangkitkan. Dengan desentralisasi pendidikan yang direpresentasikan melalui model pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Masyarakat, segenap komponen sekolah menjadi semakin berperan. Penyusunan kurikulum nasional yang mengabaikan akar budaya dan kebutuhan masyarakat setempat, dengan pemberian kewenangan besar kepada daerah, mestinya tidak akan terulang kembali.
Namun pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak semudah yang dibayangkan, muncul persoalan-persoalan baru yang mana turut menjadi wewenang daerah menjadi pro-kontra di masyarakat. Dalam makalah ini kami ingin mengkaji implementasi UU pemerintah daerah terhadap desentralisasi pendidikan dengan membahas prinsip-prinsip desentralisasi, bagaimana proses desentralisasi pendidikan dan persoalan-persoalan yang muncul seiring dengan diberlakukannya desentralisasi pendidikan.
1.2. PERMASALAHAN
Dari uraian latar belakang di atas, maka muncul permasalahan :
1. Kendala dan persoalan yang muncul pada implementasi desentralisasi pendidikan.
2. Bagaimana mengatasi persoalan yang muncul sehingga desentralisasi pendidikan dapat berjalan mulus?

1.3. TUJUAN
Ada pun tujuan penulisan makalah ini adalah agar kita dapat menganalisa kelebihan dan kekurangan penerapan desentralisasi dalam pendidikan sehingga dapat memecahkan masalah yang timbul.
Bab II
PEMBAHASAN

2.1. KONSEP DASAR DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Gagasan desentralisasi pendidikan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Setidaknya dalam fase embrio, gagasan ini sudah menjadi kebijakan resmi negara sejak tahun 1947, dengan terbitnya UU No. 32/1947, di mana daerah berhak menyelenggarakan pendidikan sesuai kebutuhannya, terutama bidang pertukangan dan kepandaian puteri. Kewenangan yang lebih luas lagi diberikan 3 tahun kemudian lewat UU No. 4/1950 dan jabarannya dalam PP No. 65/1951 yang mendesentralisasikan pengelolaan pendidikan (dasar) kepada daerah dan hak bagi pihak swasta untuk ikut mendirikan sekolah. Meski masih bersifat terbatas dilihat dari ukuran saat ini, rintisan itu dipertegas di masa Orde Baru. UU No. 5/1974 (Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), UU No. 2/1989 (Sistem Pendidikan Nasional) dan PP No. 28/1990 (Pendidikan Dasar) adalah sebagian instrumen legal yang mendasari inisiatif desentralisasi. Arsitektur pembagian kewenangan tampak lebih jelas, yakni daerah (melalui Dinas) mengurus pengadaan gedung dan penyediaan tanah untuk sekolah, sementara pusat (melalui Kanwil/Kandep) bertanggung jawab atas pengadaan guru, kurikulum dan perlengkapan pendidikan. Menyangkut kurikulum, daerah juga diberi hak untuk menambah muatan lokal dalam porsi yang ditetapkan pusat.Di era reformasi saat ini, baik melalui UU No. 22/1999 maupun hasil revisinya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan bukan saja termasuk urusan yang didesentralisasikan, tetapi bahkan menjadi urusan wajib (Pasal 11 ayat 2 UU No. 22/1999 dan Pasal 14 ayat 1 UU No. 32/2004). Ini artinya, pertama, pusat wajib menyerahkan penyelenggaraan urusan itu kepada daerah; kedua, daerah tidak bisa menolak dengan alasan apa pun (seperti halnya dalam urusan pilihan) untuk menyelenggarakannya. Kewajiban mengikat pihak pemberi (pusat) dan penerima (daerah).
Menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi dua jenis, yaitu pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.
Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dua hal ini mungkin sekali pelaksanaannya tergantung situasi kondisinya. Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia di bawah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung.
Untuk itulah partisipasi orang tua, masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang diformulasi pemerintah baik pusat maupun daerah. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah di beberapa provinsi, mungkin juga konsep pendidikan "masyarakat belajar" bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia.
Ada beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.
2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.
4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
5. Mengakomodasi kepentingan politik.
6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa ( H.A.R Tilaar, 2002).
1. Masyarakat demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean governance).2. Pengembangan“SocialCapital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya bias diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebasan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa. Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
1. Pengembangan Daya saing
Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter. Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan menibkatkan kemampuannya.
2.2. KEKUATAN DAN KELEMAHAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi diakibatkan oleh beberapa hal :
1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4. Sumber daya manusia yang belum memadai.
5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah antar individu warga masyarakat.
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran dialokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan mutu pendidikan.
5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, desentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi desentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.
2. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara gradual dan dijadwalkan setepat mungkin.
3. Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.
4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
5. Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
7. Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.
Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Induktivisme, Problem Induksi dan Ketergantungan Observasi Pada Teori

PENDAHULUAN
Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia tercatat bahwa untuk mendapatkan kebenaran, baik kebenaran yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, manusia senantiasa mempergunakan seluruh keberadaannya secara utuh dan menyeluruh. Dengan cara seperti itu telah memungkinkan dihasilkannya berbagai macam metode sebagai suatu sarana atau instrumen bagi manusia dalam mendapatkan kebenaran yang objektif.
Secara epistemologis, kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya menjadi objek pengetahuan yang dapat diperoleh dengan menggunakan dua jenis metode penalaran, yaitu secara deduktif maupun induktif. Penalaran deduktif adalah suatu prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum.
Namun demikian apabila dengan cermat kita memperhatikan dan memahami kedua jenis metode penalaran ini, deduktif dan induktif, keduanya tidak terlepas dari berbagai kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik penalaran deduktif maupun induktif mengandung titik-titik lemah yang dapat kita anggap sebagai keterbatasan dari keduanya.
B. Masalah
Induktivisme dan empirisme sebagai aliran yang menggunakan landasan berpikir induktif adalah yang ingin dikaji karena kedudukannya yang sangat penting dalam metode ilmiah. Dalam studi-studi ilmiah yang dilakukan dengan teknik eksperimentasi, penggunaan metode induksi sangatlah menonjol dan memberi pengaruh yang kuat. Hasil penarikan kesimpulan sebagai salah satu bentuk kebenaran yang diperoleh dengan kajian ilmiah, sangat besar ditentukan oleh pemikiran empiris. Tidak jarang penarikan kesimpulan yang diambil dari suatu penelitian ilmiah mempunyai nilai kebenaran yang rendah, oleh karena hanya kesalahan dalam penggunaan metode induksi/empirisnya. Sebab itu kritik atau telaah terhadap kelemahan dalam metode induksi dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan bagi para ilmuwan dalam menggunakan metode ilmiah.
Atas dasar itulah makalah ini mencoba mengungkapkan dan menganalisis fakta-fakta apa saja dalam induktivisme yang menjadi titik lemah atau keterbatasan metode tersebut dan mengapa hal-hal itu dapat terjadi. Selain itu, makalah ini memberikan beberapa solusi alternatif guna mencoba menjawab persoalan tersebut, sehingga paling tidak keterbatasan induktivisme dapat diminimalisasi.
Dari permasalahan yang telah diajukan, hipotesis yang dirumuskan adalah bahwa keterbatasan induktivisme dan empirisme dalam metode ilmiah dapat dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya penarikan kesimpulan ilmiah yang salah secara signifikan. Hipotesis lain yang bisa juga dikemukakan adalah bahwa keterbatasan empirisme dan induktivisme sesungguhnya merupakan suatu peluang untuk menimbulkan keraguan terhadap kesimpulan ilmiah sehingga memungkinkan dikembangkannya lagi suatu pengkajian ulang terhadap kebenaran ilmiah tersebut.
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan tinjauan historis
Induktivisme bagian dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan empiris. Induktivisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah diatasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Demikian pula cara kita mengenal hukum-hukum alam pada kegiatan sehari-hari, yaitu dengan cara induksi. Contohnya, sejak kecil kita memperhatikan bahwa matahari terbit di timur. Hari berikutnya, masih demikian. Hari berikutnya, masih juga demikian. Sampai hari ini, matahari masih juga terbit di timur. Kenyataan seperti itu merupakan fakta khusus. Berdasarkan pengalaman ini, maka kita menyimpulkan bahwa “setiap hari matahari terbit ditimur”. Perhatikan cara pengambilan kesimpulan ini. Fakta-fakta khusus melahirkan sebuah kesimpulan umum. Ini adalah penarikan kesimpulan secara induktif. Apakah dapat dipastikan bahwa esok matahari juga terbit di timur? Tidak. Kita hanya dapat menganggap bahwa sangat besar kemungkinannya esok hari matahari terbit lagi di timur. Hal ini sesuai dengan sifat induksi yang spekulatif.
Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan. Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran a posteriori.
Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui pengalaman-pengalaman inderawi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan pikiran manusia.
Selain John Locke, Francis Bacon pada awal abad ke-17, beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Berkebalikan dengan penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki konsep yang canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteksi ini, teori bukanlah syarat mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi.
Dalam induksi, tidak ada kesimpulan yang memiliki nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanyalah kesimpulan dengan probabilitas benar atau peluang kebenaran (Surajiyo, 2007). Menurut Chalmer (1983), kondisi yang harus dipenuhi agar generalisasi atau kesimpulan dianggap benar dan sah oleh induktivis disebutkan sebagai berikut : makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar induksi, makin besar variasi kondisi dimana observasi dilakukan, dan keterangan observasi yang sudah diterima tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi simpulannya. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmers, 1983). Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran pada teori.
B. Keterbatasan induktivisme dan problem induksi
Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan. Misalnya saja bagaimana tongkat lurus yang terendam di dalam air akan kelihatan bengkok.
Ketiga, di dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam induktivisme dan empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun premisnya benar. Misalnya, setelah dilakukan observasi terhadap sejumlah besar gagak pada variasi kondisi yang luas, ternyata didapat fakta gagak berwarna hitam. Maka dapat disimpulkan semua gagak adalah hitam. Ini adalah penyimpulan induktif yang valid dan sempurna. Namun disini tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah.
Penalaran induktif yang digunakan pada empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa pun banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar dibuktikan atau salah. Misalkan seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali pemiliknya mendekat selalu tahu bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan mengenyangkan dirinya. Dengan demikian ayam (secara instingtif atau behavioristis) memiliki pengetahuan atas suguhan makanan yang akan dimakan lewat kasus pembiasaan yang diulang ulang. Ayam sampai pada kesimpulan bahwa majikan datang sama dengan makanan datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan sang ayampun mendekat. Bukan makanan yang di dapat oleh sang ayam tapi tebasan pisau yang meneteskan darah dilehernya. Majikan datang sama dengan maut. Dengan demikian kesimpulan umum bahwa majikan datang sama dengan makanan menjadi sebuah pengetahuan yang salah dan menjerumuskan sang ayam itu sendiri.
Tidak beda dengan hal ini adalah kepercayaan kita atas terbitnya matahari dari timur. Karena setiap hari matahari selalu saja terbit dari timur (walaupun mengalami pergeseran sedikit kearah utara atau selatan), hal ini tidaklah menjadikan kesimpulan bahwa matahari selalu terbit dari timur merupakan sebuah kebenaran mutlak. Tidak menutup kemungkinan suatu saat matahari bisa terbit dari barat, utara atau selatan. Dari sini tampak bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan tetapi pengetahuan yang probabel/berpeluang benar.
Disini terdapat satu bukti rasional bahwa penalaran induktif bisa jadi menghasilkan kesimpulan yang berbahaya dan salah kaprah. Pengetahuan kita yang bersumber dari penalaran atau pemikiran induktif bisa jadi salah. Bukan makanan yang datang melainkan kematian. Demikianlah seperti contoh sang ayam.
Menurut pandangan Hume, penalaran induksi sering pula dikaitkan dengan sebuah korelasi atau hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dua buah kejadian yang berbeda. Hasil-hasil kesimpulan secara induksi juga dikaitkan dengan kausalitas sebuah kejadian. Karena sedemikian sering kejadian A diikuti oleh kejadian B, maka diambil kesimpulan bahwa kejadian A merupakan penyebab kejadian B. Hutan yang gundul menyebabkan banjir. Pengeboran lumpur Lapindo menyebabkan luapan lumpur. Dan sebagainya. Sekarang simak contoh berikut. Dua buah jam dihadapkan di depan anda. Salah satu jam tersebut pada setiap perputaran satu jam akan berdering, tetapi jam satunya lagi tidak. Nah ketika jam A yang tidak berdering itu menunjukkan jam 12 maka sedetik kemudian diikuti oleh dering jam B. Demikian sampai berpuluh-puluh maupun berjuta-juta kali. Apakah bisa diambil kesimpulan bahwa jam A mengakibatkan jam B berdering?
Meskipun metode penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan yang salah, namun setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga kita tidak dapat mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karena untuk melakukan perkiraan atau asumsi dengan induksi adalah valid. Memang benar kita tidak dapat memastikan bahwa suatu teori/hipotesa melaui induksi itu benar, namun kita dapat memastikan bahwa teori/hipotesa itu belum salah. Inilah landasan berpikir saintifik. Selama masih belum ditemukan keaslahan teori/hipotesa itu, maka teori/hipotesa itu akan selalu dianggap benar. Dengan demikian induksi memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.
C. Ketergantungan Observasi pada Teori
Ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme naif tentang observasi. Yang pertama bahwa ilmu bertolak dari observasi. Yang kedua, bahwa observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik. Pengamatan ilmiah harus memiliki organ indera dan instrumen yang benar dan baik. Dua hal yang ditekankan pada observasi melalui penglihatan menurut induktivis, yaitu pengamat dapat menangkap langsung sifat dari duia luar selama sifat itu terekam oleh otaknya dari tindakan melihat. Yang kedua, dua pengamat normal memandang objek yang sama dari tempat yang sama akan melihat hal yang sama pula.
Namun ternyata, kenyataannya tidak demikian. Pengalaman dua pengamat ketika memandang satu objek yang sama dari tempat yang sama dalam keadaan fisik yang sama tidak harus mendapatkan pengalaman visual yang sama, walau hakikat gambar yang diterima retina mata sama. Seperti contoh pada gambar berikut ini:
Gambar 1
Jika diamati, gambar tersebut bisa dilihat sebagai pria yang sedang meniup terompet atau wajah seorang wanita. Gambar-gambar yang terbentuk secara relatif tergantung pada budaya si pengamat dan pengalaman persepsi dalam melihat tidak hanya ditentukan oleh gambar pada retina, tetapi juga pengalaman masa lalu, harapan dan pengetahuan si pengamat. Inilah yang menjadi kritik bagi para induktivis.
Contoh praktek dalam ilmu mengilustrasikan hal yang sama yaitu apa yang terlihat adalah pengalaman subyektif, tidak ditentukan oleh retina saja, tetapi juga pada pengalaman, pengetahuan dan harapan secara psikologi dari pengamat. Seperti pada membaca gambar hasil sinar X yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dari pendidikan dan latihan dibidangnya.
Untuk memantapkan validitas suatu keterangan observasi memerlukan pertolongan teori. Makin mantap validitasnya, makin ekstensif pengetahuan teori yang digunakan. Hal ini jelas berlawanan dengan apa yang kita harapkan dari induktivis, yakni untuk mengukuhkan keterangan observasi, perlu keterangan observasi yang terjamin dan mungkin hukum-hukum dapat ditarik secara induksi dari situ, bukan pada teori. Demikian juga saat melakukan suatu eksperimen, kadang kita memerlukan atau dipancing teori yang didapat dari penelitian. Ketergantungan observasi pada teori yang telah dibicarakan ini, menyudutkan para induktivis naif. Namun para induktivis modern mulai mau memodifikasi pandangannya. Jangkauan observasi empiris manusia yang terbatas sifatnya, membuat observasi perlu diperkuat, dilengkapi dan ditunjang dengan penggunaan sarana yang baik, pengandaian teoritis dan kemampuan merumuskan hasil observasi secara logis rasional. Oleh karena itu, kedua metode penalaran deduktif dan induktif, yang seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah, tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika
PENUTUP
Telaah terhadap kritik yang ditujukan kepada empirisme dan induktivisme tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang peranan induksi dalam pembentukan pengetahuan melalui metode ilmiah. Kritik ini haruslah dipandang sebagai acuan dalam mencari solusi alternatif mengatasi kelemahan-kelemahan dalam induksi. Penggunaan pancaindera yang memiliki keterbatasan harus dibantu dengan teknologi yang sempurna untuk menyempurnakan pengamatan. Metode-metode eksperimen yang dijalankan harus ditetapkan secara benar sehingga bias karena keterbatasan pengamatan manusia dapat diminimalisasikan.
Pengalaman-pengalaman yang dibangun sebagai dasar kebenaran juga harus didukung dengan teori-teori yang relevan. Bergantung pada pengalaman pribadi saja bisa menimbulkan subyektivitas yang tinggi. Oleh sebab itu kajian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada sebelumnya harus dilakukan sehingga kebenaran yang ingin didapatkan memiliki sifat obyektivitas yang tinggi. Pengetahuan tidak semata-mata mulai dari pengalaman saja, tetapi ia harus menjelaskan dirinya dengan pengalaman-pengalaman itu.
Dari sudut pandang yang lain, kritik terhadap induksi perlu juga dipahami sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan. Dengan adanya keterbatasan dalam induksi sebagai salah satu prosedur dari metode ilmiah, memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya kebenaran yang ada. Tetapi sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa di luar ilmu pengetahuan masih terdapat kebenaran lain. Dengan demikian, kebenaran ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri, tetapi didalam membangun keharmonisan dan keseimbangan hidup, kebenaran ilmu pengetahuan perlu berdampingan dengan kebenaran-kebenaran dari pengetahuan lain, seperti seni, etika dan agama. Pengetahuan-pengetahuan lain di luar ilmu pengetahuan ilmiah perlu dipahami pula dengan baik oleh para ilmuwan agar dapat menciptakan atau menghasilkan nuansa yang lebih dinamis pada pengetahuan ilmiah. Kebenaran ilmu juga memiliki sifat probabel, tentatif, evolutif, relatif dan tidak pernah sempurna, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.